Liputan6.com, Jakarta – Wakil Ketua KPK Nawawi Pumolango mengatakan tidak ada yang mengetahui janji Ketua KPK Verle Bahuri kepada Gubernur Papua nonaktif Lucas Enyimbe.

Peri disebut telah membisikkan janji kepada Lucas Enimbe pada Kamis, 3 November 2022, ketika pensiunan polisi menyaksikan peristiwa seorang tersangka kasus suap Papua. Saat itu, tim investigasi KPK belum menangkap Lucas.

Baca juga

“Hanya Tuan Fairlie yang tahu janji apa yang diberikan kepada terdakwa (Lucas Enembe),” kata Al-Nawawi dalam keterangannya, Kamis (2 Februari 2023).

Nawawi meminta tim penyidik ​​dugaan suap proyek infrastruktur di Papua tidak tergoyahkan dengan janji Fairli Bahuri kepada Lucas Enembi. Ia berharap tim penyidik ​​KPK tetap bekerja sesuai dengan prosedur hukum yang telah ditetapkan.

“Penyidik ​​tidak perlu terpengaruh oleh hal-hal seperti itu,” kata al-Nawawi.

Di luar itu, menurut dia, kejadian tersebut bisa menjadi pengingat bahwa seluruh jajaran KPK harus terus bersinergi sesuai UU No 19 Tahun 2019.

“Ini harus menjadi peringatan untuk menghindari gaya kerja yang cenderung one man show,” kata Nawawi Pomolango.

Lukas Enembe diketahui memberikan surat itu kepada Firli Bahuri pada Rabu 1 Februari 2023. Surat itu ditulis tangan oleh Lukas. Surat itu dikirim ke bagian pos KPK oleh Petrus Bala Pattyona, tim kuasa hukum Luke.

Pada hari Rabu, 1 Februari 2023, Petros berkata, “Ya, Pak Luke menulisnya sendiri.”

Petros tidak merinci isi surat itu. Namun, Petros menyebut surat itu berisi sederet janji yang dibuat Lucas Enembe kepada Fairli Bahori.

“Intinya, Pak. Itu untuk mengklaim janji Fairlie. kata Petros.

Sekedar informasi, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Gubernur nonaktif Papua Lucas Enembe sebagai tersangka kasus suap dan suap proyek infrastruktur Pemerintah Daerah (Pemperof) Papua. Lucas Enembe dituduh menerima suap atau uang pelicin senilai Rp 10 miliar.

Selain itu, KPK telah memblokir rekening senilai kurang lebih Rp 76,2 miliar. Padahal, KPK menduga korupsi yang dilakukan Lucas Enembe sebesar Rp 1 triliun.

Kasus bermula ketika Direktur PT Tabi Bangun Papua Rijatono Lakka memenangkan proyek infrastruktur setelah melobi Lukas Enembe dan beberapa pejabat lainnya di Pemda Papua. Meski Rijatono bergerak di bidang farmasi.

Kesepakatan yang disetujui oleh Regatuno dan diterima oleh Lucas Enembi dan beberapa pejabat Pemda Papua itu antara lain persentase bagian biaya proyek sampai dengan 14% dari nilai kontrak setelah dikurangi nilai PPh dan PPN.

Setidaknya ada tiga proyek yang diakuisisi Legatono. Pertama peningkatan jalan Entrop-Hammadi dengan nilai proyek Rp 14,8 miliar. Selanjutnya rehabilitasi sarana dan prasarana penunjang integrasi PAUD dengan nilai proyek Rp 13,3 miliar. Terakhir, Proyek Pengelolaan Lingkungan Venue mengembangkan AURI outdoor dengan nilai proyek Rp 12,9 miliar.

Dari ketiga proyek itu, Lukas diperkirakan mendapat Rp 1 miliar dari Rijatono.

Dalam kasus ini, Rigatono didakwa melanggar Pasal 5(1) atau 5(2) dan Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dan ada. hukum. – Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sebaliknya, Lucas didakwa melanggar Pasal 12 a atau b atau 11 dan 12b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2001. pemberantasan korupsi. kegiatan kriminal korupsi.by admin Arwana99.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *