Liputan6.com, Kebijakan tembakau Pemprov DKI menarik perhatian berbagai kalangan. Karena itu mempengaruhi masa depan mereka yang bekerja di lapangan.
Baca juga
Melihat hal tersebut, banyak pihak sepakat bahwa amandemen PP 109/2012 bukanlah solusi yang tepat untuk mengatasi masalah tembakau Indonesia. Konsensus ini didasarkan pada kajian menyeluruh atas dampak usulan amandemen PP 109/2012.
Kesepakatan antara lain Konfederasi Serikat Pekerja Tembakau, Pimpinan Daerah Daerah Istimewa Makanan dan Minuman Yogyakarta (PD FSP RTMM-SPSI DIY), Pengurus Pusat RTMM SPSI dengan Perwakilan Konfederasi Perusahaan Tembakau Kudus (PPRK), Asosiasi Tembakau Indonesia (AMTI), Konsumen Piagam, Sarjana Universitas 45 M Yogyakarta.
Pembicaraan dimulai dengan presentasi oleh Ari Vatanen, Presiden Piagam Konsumen. Dia menekankan bahwa 69,1 juta konsumen tembakau Indonesia enggan melibatkan pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan tembakau.
“Konsumen perlu dilibatkan dalam masalah keikutsertaan dalam regulasi. Konsumen ini seperti anak dari suami atau istri. Mereka berkontribusi pada cukai, infrastruktur dan pembangunan, tetapi pada saat itu hak untuk berbagi tidak dimiliki UUD. Sampai saat ini, khususnya PP 109 Tahun 2012. Itu jarang terjadi di tingkat menteri seperti Jumat (20 Januari 2023), ujarnya.
Memang, kata Ari, meski PP 109/2012 dinilai sudah cukup untuk mengatasi masalah rokok, pada praktiknya masih rentan. PP 109/2012 sudah melarang anak di bawah usia 18 tahun terlibat dalam kegiatan promosi tembakau.
Oleh karena itu, prevalensi perokok terkait dengan revisi PP 109/2012 dan menurut saya, apa yang dilakukan pemerintah saat ini tidak adil. Amandemen PP 109/2012 mendorong pemerintah untuk melibatkan konsumen dalam pengambilan kebijakan terkait dengan merokok oleh bukan perokok, termasuk anak di bawah umur, dan mendorong partisipasi konsumen dalam inisiatif pendidikan bersama,” kata Ari.
Oleh karena itu, pemerintah harus merangkul semua pemangku kepentingan dan melakukan pendekatan persuasif melalui kampanye bersama untuk mencegah perokok anak.
Sekjen AMTI Hananto Wibisono mengamini pandangan tersebut dengan menunjukkan ketidaksesuaian data pemerintah dengan kondisi riil perokok saat ini. Padahal, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka merokok di kalangan anak di bawah 18 tahun menurun dalam empat tahun terakhir. Namun, Pemerintah tetap mengutip data kajian kesehatan dasar (Riskesdas) 2018 sebagai dasar usulan perubahan PP 109/2012 dalam Perpres 25/2022.
Selain itu, alasan pemerintah mengejar revisi tidak konsisten dan tidak berdasarkan hasil evaluasi. Hananto mengatakan, “Rating saja tidak bisa menggambarkan review dengan baik. Kehadiran polypropylene telah mengakibatkan penurunan produksi rokok. Tingkat merokok di kalangan anak-anak juga menurun. Pemerintah memperlakukan rokok sebagai produk legal dan menjadikannya ilegal.” kata Hananto. . . Posisi pemerintah kemudian dianggap diskriminatif, membunuh sekitar 2 juta petani tembakau, 2 juta pengecer, 1,5 juta petani cengkeh, 600.000 karyawan, dan negara itu sendiri, membunuh ekosistem tembakau.
Presiden Asosiasi PPRK Agus Sarjono menyampaikan dampak kegagalan penilaian PP 109/2012 terhadap perusahaan rokok. Perusahaan tembakau berkontribusi terhadap target penerimaan pemerintah dan mematuhi peraturan termasuk PP 109/2012. Namun, pemerintah mengabaikan hal ini dan gagal menutup celah dalam penerapan peraturan yang paling mendesak.
“SKT, SKM rokok per bungkus diatur, jadi tidak bisa dilampaui. Kalau pemerintah mengatur penerimaan pajak nasional, masuk akal. Tapi kalau (pemerintah) mau lebih kreatif, [pemerintah] a) di dengan adanya dana DBHCHT, Bagaimana memperkuat pengawasan terhadap tembakau haram harus diperhatikan,” usul Agos, mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan penggunaan dana DBHCHT yang tepat di tengah situasi yang kurang transparan saat ini.
Selain itu, Dirjen FSP RTMM-SPSI Kantor Pusat Sudarto AS mewakili buruh menilai PP 109/2012 yang telah diubah itu menempatkan buruh tembakau sebagai korban dan tidak mengakomodir kelompok tembakau. Selain fokus pemerintah pada isu kesehatan, ada juga tekanan regulasi dari lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengancam keberlangsungan diskusi buruh.
“Anak di bawah umur dipinggirkan dan diasingkan dari sistem ini. Hanya UUD 1945 yang mengatur hak atas kehidupan dan penghasilan yang bermartabat. Dalam hal ini anak di bawah umur sudah dikorbankan. Itulah hak pertimbangan (hak PP 109/ pemerintah sebelum proposal 2012)?” Menurut Sudarto, situasi ini hanya akan adil jika pemerintah mendorong dampak yang lebih dimitigasi terhadap petani atau pekerja daripada PP 109/2012 yang diamandemen.
Setelah menelaah dampak dan mendengar aspirasi para pelaku IHT, dialog tersebut mengundang para akademisi dan pemerhati kebijakan untuk menyampaikan temuan kajiannya terkait penyelesaian usulan Revisi PP 109/2012.
Dosen Proklamasi Universitas Yogyakarta 45 Arif Kornyar Rahman mengatakan, masalah terbesar regulasi tembakau saat ini adalah memisahkan konteks hukum dari aspek sosial dan budaya yang ada di masyarakat dalam proses penyusunan regulasi. Pemerintah terlalu menekankan pola pikir kesehatan tanpa membayangkan hubungannya dengan sektor lain seperti kesehatan.
Untuk mendorong perumusan dan implementasi aturan yang ideal, Aref merekomendasikan untuk membuat ruang diskusi. “Kita perlu melakukan advokasi politik (menciptakan) bargaining power (tembakau) dengan isu pertanian (seperti sawit). Sama pentingnya, diskusi intelektual harus didorong. Selain itu, media harus bersifat kolaboratif, tidak parsial,” saran Ari. by admin Arwana99.